Letusan Gunung Merapi dan Super Topan Ragasa baru-baru ini menjadi pengingat bahwa ancaman perubahan iklim bukan lagi isu masa depan, melainkan realitas yang sudah dihadapi saat ini. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat lebih dari 3.850 bencana terjadi sepanjang 2025, sebagian besar berupa banjir, tanah longsor, dan cuaca ekstrem yang berdampak pada aktivitas ekonomi masyarakat. Sementara di tingkat global, World Economic Forum menempatkan cuaca ekstrem sebagai risiko terbesar kedua dunia dengan persentase 14 persen, tepat di bawah konflik bersenjata sebesar 23 persen. Fakta tersebut menunjukkan bahwa perubahan iklim kini juga mengancam ketahanan energi, pangan, hingga stabilitas ekonomi dunia.

Dalam konteks tersebut, Universitas Pertamina berperan aktif menjadi bagian dari solusi melalui penyelenggaraan International Conference on Risk and Sustainability (ICONIC-RS) 2025. Kegiatan tersebut menghadirkan berbagai pakar dari dalam dan luar negeri untuk membahas tantangan risiko iklim dan transisi energi secara komprehensif. Salah satu tokoh penting yang hadir adalah Agung Wicaksono, Direktur Transformasi dan Keberlanjutan Bisnis PT Pertamina (Persero). Dalam paparannya, ia menegaskan komitmen Pertamina dalam memperkuat ketahanan energi nasional melalui inovasi berkelanjutan. Pertamina, kata Agung, terus mengembangkan biofuel B35, teknologi rendah karbon, dan berbagai inisiatif kolaboratif bersama Universitas Pertamina melalui Pertamina Sustainability Center sebagai pusat riset keberlanjutan energi.

Dukungan juga datang dari pemerintah. Staf Ahli Bidang Perencanaan Strategis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jisman P. Hutajulu, menyoroti pentingnya transisi energi dalam menjaga ketahanan nasional. Ia menjelaskan bahwa langkah menuju energi bersih bukan hanya soal pengurangan emisi, tetapi juga tentang memastikan ketersediaan dan keamanan energi bagi seluruh lapisan masyarakat. Saat ini, kapasitas pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT) Indonesia telah mencapai 57,9 gigawatt dan ditargetkan meningkat hingga 87,67 gigawatt pada tahun 2029.

Sementara itu, President Director Pertamina Foundation, Agus Mashud S. Asngari, menekankan bahwa pembahasan tentang risiko global tidak bisa dilepaskan dari upaya membangun masa depan berkelanjutan. Menurutnya, isu seperti perubahan iklim, ketimpangan ekonomi, dan krisis energi saling berkaitan serta berdampak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat. Ia juga menyoroti peluncuran Pertamina Net Zero Emission Roadmap 2025 sebagai bagian dari langkah strategis menyelaraskan kebijakan nasional dengan target global. Melalui berbagai inisiatif seperti program Blue Carbon, pemberdayaan UMKM, dan beasiswa pendidikan, Pertamina Foundation berupaya mengubah risiko menjadi peluang nyata untuk memperkuat ketahanan sosial dan ekonomi.

Agus menegaskan bahwa kolaborasi adalah kunci untuk mengatasi tantangan global. Menurutnya, keberhasilan pembangunan berkelanjutan hanya dapat dicapai jika sektor publik, swasta, dan akademisi bergerak bersama dalam satu arah. “Kolaborasi adalah kunci untuk mengubah tantangan menjadi solusi nyata,” ujarnya dalam sesi konferensi.

Konferensi ICONIC-RS 2025 juga menjadi wadah penting bagi para akademisi, mahasiswa, dan peneliti dari berbagai negara untuk saling bertukar gagasan dan riset terbaru. Lebih dari 100 peserta dari 10 negara berpartisipasi dalam kegiatan ini, dengan 55 publikasi ilmiah yang membahas topik strategis seperti Environmental, Social, and Governance (ESG), risiko keuangan, manajemen energi, serta komunikasi risiko.

Rektor Universitas Pertamina, Prof. Dr. Ir. Wawan Gunawan A. Kadir, M.S., IPU., menegaskan bahwa tantangan global seperti perubahan iklim dan krisis energi memerlukan pendekatan lintas disiplin dan lintas negara. ICONIC-RS 2025, menurutnya, menjadi contoh nyata bagaimana kolaborasi dapat melahirkan solusi inovatif dan berkelanjutan. “Konferensi ini mempertemukan para pakar dari Indonesia, Jepang, dan Amerika Serikat untuk menggabungkan perspektif teknik, ekonomi, komunikasi, dan diplomasi,” jelas Prof. Wawan.

Ia juga menambahkan bahwa universitas memiliki peran penting dalam menjembatani ilmu pengetahuan dengan kebijakan publik. Melalui riset dan kolaborasi internasional, Universitas Pertamina berupaya menghadirkan gagasan yang tidak hanya berhenti di ruang akademik, tetapi juga dapat diterapkan secara nyata bagi masyarakat luas. “Melalui kolaborasi ini, kita belajar menerjemahkan ilmu menjadi kebijakan, dan gagasan menjadi dampak nyata bagi masyarakat. Inilah semangat Universitas Pertamina dalam memperkuat peran pendidikan tinggi menghadapi risiko global,” tutup Prof. Wawan.